Selamat datang di blog super kece :D , selamat membaca. Thank's guys:)

Mei 05, 2013

Mal Praktek Fisioterapi di indonesia


BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Beberapa tahun belakangan kita sering mendengar istilah malpraktek yang dilakukan oleh tenaga medis. Malpraktek merupakan kelalaian seorang tenaga medis untuk mempergunakan tingkat keterampilan dan ilmu pengetahuan yang lazim dipergunakan dalam mengobati pasien atau orang yang terluka menurut ukuran di lingkungan yang sama.
Kelalaian yang dimaksud diantaranya adalah kelalaian pada diagnosa, kelalaian pemberian obat, kelalaian pemberian terapi atau kelalaian penanganan pasien oleh tenaga medis. Dalam semua kasus malpraktek , pasien tentu adalah pihak yang dirugikan. Kerugian yang ditanggung tidak hanya secara materil, namun lebih dari itu. Bisa saja berupa kerugian secara kejiwaan dan mental pasien beserta keluarga.
Dalam dunia fisioterapi, kasus malpraktek bisa mengancam eksistensi jiwa seseorang yang berakibat pada hilangnya nyawa. Jika ternyata tidak meninggal, bisa juga menimbulkan dampak cacat permanen pada tubuh seorang pasien korban malpraktek. Di negara kita tercinta Indonesia, hak pasien dalam kasus malpraktek belum digunakan sepenuhnya oleh para korban malpraktek. Hal ini disebabkan oleh pengetahuan masyarakat sebagai pasien di Indonesia yang kurang paham dengan aturan yang tercantum dalam Undang-Undang Kesehatan, dimana hak pasien dijamin dalam mendapatkan layanan kesehatan yang layak dan aman.
Terlepas dari fenomena tersebut, penulis tergelitik untuk mengkaji bagaimana sebenarnya kasus malpraktek khususnya dalam dunia fisioterapi jika dilihat dari hukum yang berlaku dii Indonesia.

1.2 Rumusan Masalah 

A. Apa Pengertian Malpraktek?
B. Bagaimana standar pelayanan medik?
C. Bagaimana standar pelayanan fisioterapi di Indonesia?
D. Apa contoh kasus malpraktek dalam pelayanan fisioterapi?
E. Bagaimana pelayanan terhadap kasus malpraktek fisioterapi?

1.3 Tujuan 

A. Mendeskripsikan pengertian malpraktek
B. Mendeskripsikan standar pelayanan medik
C. Mendeskripsikan standar pelayanan fisioterapi di Indonesia
D. Mendeskripsikan contoh kasus malprkatek pelayanan fisioterapi
E. Mendeskripsikan pelayanan yang seharusnya dilakukan terhadap kasus malpraktek fisioterapi

1.4 Manfaat
Adapun manfaat dari penulisan makalah ini yaitu untuk menambah wawasan bagi pembaca dan penulis mengenai malpraktek di Indonesia khususnya tentang malpraktek fisioterapi. Agar nantinya sebagai tenaga medis tidak lalai dalam memberikan pelayanan fisioterapi.

1.5 Batasan Masalah
Dalam makalah ini, penulis hanya membahas tentang contoh malpraktek fisioterapi di Indonesia serta keterkaitannya dengan undang-undang yang berlaku.





BAB II
LANDASAN TEORI

2.1 DEFINISI DAN PENGERTIAN MALPRAKTEK MEDIK

Malpraktek medik adalah kelalaian seorang dokter untuk mempergunakan tingkat keterampilan dan ilmu pengetahuan yang lasim dipergunakan dalam mengobati pasie atau orang yang terluka menurut ukuran di lingkungan yang sama.
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, malpraktek medic adalah suatu tindakan atau perbuatan medic yang dilakukan atau diselenggarakan dengan jalan yang tidak baik atau salah atau tidak sesuai norma. Dapat pula diatikan sebagai suatu bentuk kesalahan professional yang dapat menimbulkan luka-luka pada pasien sebagai akibat langsung dari suatu perbuatan atau kelalaian dokter.

2.2 STANDAR PELAYANAN MEDIK
Adalah suatu pedoman yang harus diikuti oleh dokter/dokter gigi dalam menyelenggarakan praktek kedokteran. Standar pelayanan medic ini juga sebagai pedoman dalam pengawasan praktek dokter, pembinaan serta upaya peningkatan mutu pelayanan medis di Indonesia yang efektif dan efisien. Selain itu dimaksudkan juga untuk melindungi tenaga kesehatan dari tuntutan yang tidak wajar dari masyarakat luas. Juga dimaksudkan untuk melindungi masyarakat dari praktek-praktek kedokteran yang tidak sesuai dengan standar profesi kedokteran.
Selain itu SPM ini dapat dijadikan tolok ukur mutu pelayanan tenaga kesehatan dan dimaksudkan pula agar para tenaga medis seragam dalam memberikan diagnose, dan setiap diagnose harus memenuhi criteria minimal yang terdapat dalam standar pelayanan medis dan standar pelayanan rumah sakit tersebut.
Selain itu SPM ini dapat dijadikan tolok ukur mutu pelayanan tenaga kesehatan dan dimaksudkan pula agar para tenaga medis seragam dalam memberikan diagnose, dan setiap diagnose harus memenuhi criteria minimal yang terdapat dalam standar pelayanan medis dan standar pelayanan rumah sakit tersebut.
SPM juga dapat difungsikan untuk kepentingan pembuktian di pengadilan apabila terjadi suatu sengketa. Penerapan standar pelayanan medik harus dilakukan bertahap, mengingat kondisi dan kapasitas kemampuan rumah sakit bervariasi bila ditinjau dari segi fisik konstruksi, peralatan, sumber daya manusia, pembiayaan dan sejarah perkembangan.
Standar pelayanan medis disusun oleh ikatan Dokter Indonesia sebagai satu-satunya organisasi profesi di Indonesia yang mendapatkan masukan dari perkumpulan dokter seminat, yang bekerja sama dengan Departemen Kesehatan. Kandungan standar pelayanan medis terdiri dari standar penatalaksanaan 100 jenis penyakit dari 12 spesialis dan standar pelayanan penunjang dari 3 spesialis.

KASUS MALPRAKTEK MEDIK DAN BUKAN MALPRAKTEK MEDIK 
a. Kasus malpraktek medik
Misalnya terjadi cacat atau kematian pada pasien sebagai akibat tindakan dokter yang kurang hati-hati atau alpa dengan tertinggalnya alat operasi yang didalam rongga tubuh pasien.

b. Bukan kasus malpraktek medik
Seorang ibu menangis histeris karena anaknya kejang-kejang. Jam 02.00 dinihari waktu itu suami istri itu membawa anaknya berobat ke klinik terdekat karena anaknya yang berusia 3 tahun panas tinggi, suhunya 41,7 derajat celsius. Anak itu kemudian diberikan obat yang dimasukkan melalui anus (pantatnya) berharap agar suhunya segera dan cepat turun. Namun begitu dokter hendak membalikkan badan, anak itu pun kejang, dan siibu menuding gara-gara obat yang barusan dimasukkan itulah yang menyebabkan anaknya kejang. Padahal karena panas tinggi itulah anaknya menjadi kejang, kenapa siibu harus nunggu larut malam padahal anaknya sudah seharian demam, nunggu panasnya begitu tinggi sampai terjadi kejang demam. Kebetulan terjadi sesaat setelah dokter masukkan obat demamnya dan obat itu juga belum sempat diserap tubuh anak itu. Malpraktek jugakah itu?, untung setelah dijelaskan dan tetangga-tetangga membenarkan kata-kata dokter, suami istri beranak satu ini kemudian bisa mengerti bahwa kejang itu karena demam tinggi yang dialami anaknya bukan karena over dosis obat seperti yang dikatakannya.

PROSEDUR TUNTUTAN MEDIK
Untuk penanganan bukti-bukti hukum tentang kesalahan atau kealpaan atau kelalaian dokter dalam melaksanakan profesinya dan cara penyelesaiannya, banyak kendala yuridis yang dijumpai dalam pembuktian kesalahan atau kelalaian tersebut. Masalah ini berkait dengan masalah kelalaian atau kesalahan yang dilakukan oleh orang pada umumnya sebagai anggota masyarakat, sebagai penanggung jawab hak dan kewajiban menurut ketentuan yang berlaku bagi profesi. Oleh karena menyangkut 2 (dua) disiplin ilmu yang berbeda maka metode pendekatan yang digunakan dalam mencari jalan keluar bagi masalah ini adalah dengan cara pendekatan terhadap masalah medik melalui hukum. Untuk itu berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia (SEMA RI) tahun 1982, dianjurkan agar kasus-kasus yang menyangkut dokter atau tenaga kesehatan lainnya seyogyanya tidak langsung diproses melalui jalur hukum, tetapi dimintakan pendapat terlebih dahulu kepada Majelis Kehormatan Etika Kedokteran (MKEK).
Majelis Kehormatan Etika Kedokteran merupakan sebuah badan di dalam struktur organisasi profesi Ikatan Dokter Indonesia (IDI). MKEK ini akan menentukan kasus yang terjadi merpuakan pelanggaran etika ataukah pelanggaran hukum. Hal ini juga diperkuat dengan UU No. 23/1992 tentang kesehatan yang menyebutkan bahwa penentuan ada atau tidaknya kesalahan atau kelalaian ditentukan oleh Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan (pasal 54 ayat 2) yang dibentuk secara resmi melalui Keputusan Presiden (pasal 54 ayat 3). Pada tanggal 10 Agustus 1995 telah ditetapkan Keputusan Presiden No. 56/1995 tentang Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan (MDTK) yang bertugas menentukan ada atau tidaknya kesalahan atau kelalaian dokter dalam menjalankan tanggung jawab profesinya. Lembaga ini bersifat otonom, mandiri dan non structural yang keanggotaannya terdiri dari unsur Sarjana Hukum, Ahli Kesehatan yang mewakili organisasi profesi dibidang kesehatan, Ahli Agama, Ahli Psikologi, Ahli Sosiologi. Bila dibandingkan dengan MKEK, ketentuan yang dilakukan oleh MDTK dapat diharapkan lebih obyektif, karena anggota dari MKEK hanya terdiri dari para dokter yang terikat kepada sumpah jabatannya sehingga cenderung untuk bertindak sepihak dan membela teman sejawatnya yang seprofesi. Akibatnya pasien tidak akan merasa puas karena MKEK dianggap melindungi kepentingan dokter saja dan kurang memikirkan kepentingan pasien.
Jadi instansi petama yang akan menangani kasus masalah malpraktek pidana atau perdata adalah MKEK cabang atau wilayah bukan diteruskan ke pengadilan. Masalah yang tidak dapat diselesaikan oleh MKEK dirujuk ke P3EK (Panitia Pertimbangan dan Pembinaan Etik Kedokteran) Provinsi dan jika P3EK Provinsi tidak mampu menanganinya maka kasus tersebut diteruskan ke P3EK pusat.



JENIS JENIS MALPRAKTEK MEDIK
1. Malpraktek Etik
Yang dimaksud dengan malpraktek etik adalah kesalahan profesi karena kelalaian dalam melaksanakan etika profesi, maka sanksinya adalah sanksi etika yang berupa sanksi administrasi sesuai dengan tingkat kesalahannya.
Contoh konkrit yang merupakan malpraktek etik ini antara lain :
• Dibidang diagnostik
Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan terhadap pasien kadangkala tidak diperlukan bilamana dokter mau memeriksa secara lebih teliti. Namun karena laboratorium memberikan janji untuk memberikan “hadiah” kepada dokter yang mengirimkan pasiennya, maka dokter kadang-kadang bisa tergoda juga mendapatkan hadiah tersebut.
• Dibidang terapi
Berbagai perusahaan yang menawarkan antibiotika kepada dokter dengan janji kemudahan yang akan diperoleh dokter bila mau menggunakan obat tersebut, kadang-kadang juga bisa mempengaruhi pertimbangan dokter dalam memberikan terapi kepada pasien. Orientasi terapi berdasarkan janji-janji pabrik obat yang sesungguhnya tidak sesuai dengan indikasi yang diperlukan pasien juga merupakan malpraktek etik.
2. Malpraktek Yuridik
Malpraktek yuridik dibedakan menjadi :
a. Malpraktek Perdata (Civil Malpractice)
Terjadi apabila terdapat hal-hal yang menyebabkan tidak dipenuhinya isi perjanjian (wanprestasi) didalam transaksi terapeutik oleh dokter atau tenaga kesehatan lain, atau terjadinya perbuatan melanggar hukum (onrechmatige daad) sehingga menimbulkan kerugian pada pasien.
Adapun isi dari tidak dipenuhinya perjanjian tersebut dapat berupa :
· Tidak melakukan apa yang menurut kesepakatan wajib dilakukan.
· Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi terlambat melaksanakannya.
· Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi tidak sempurna dalam pelaksanaan dan hasilnya.
· Melakukan apa yang menurut kesepakatannya tidak seharusnya dilakukan.
Sedangkan untuk perbuatan atau tindakan yang melanggar hukum haruslah memenuhi beberapa syarat seperti :
Sedangkan untuk perbuatan atau tindakan yang melanggar hukum haruslah memenuhi beberapa syarat seperti :
a. Harus ada perbuatan (baik berbuat naupun tidak berbuat)
b. Perbuatan tersebut melanggar hukum (baik tertulis maupuntidak tertulis)
c. Ada kerugian
d. Ada hubungan sebab akibat (hukum kausal) antara perbuatan yang melanggar hukum dengan kerugian yang diderita.
e. Adanya kesalahan (schuld) Sedangkan untuk dapat menuntut pergantian kerugian (ganti rugi) karena kelalaian dokter, maka pasien harus dapat membuktikan adanya empat unsure berikut :
- Adanya suatu kewajiban dokter terhadap pasien.
- Dokter telah melanggar standar pelayanan medik yang lazim.
- Penggugat (pasien) telah menderita kerugian yang dapat dimintakan ganti ruginya.
- Secara faktual kerugian itu disebabkan oleh tindakan dibawah standar.


Namun adakalanya seorang pasien tidak perlu membuktikan adanya kelalaian dokter. Dalam hukum ada kaidah yang berbunyi “res ipsa loquitor” yang artinya fakta telah berbicara. Misalnya karena kelalaian dokter terdapat kain kasa yang tertinggal dalam perut sang pasien tersebut akibat tertinggalnya kain kasa tersebut timbul komplikasi paksa bedah sehingga pasien harus dilakukan operasi kembali. Dalam hal demikian, dokterlah yang harus membuktikan tidak adanya kelalaian pada dirinya.

3. Malpraktek Pidana (Criminal Malpractice)
Terjadi apabila pasien meninggal dunia atau mengalami cacat akibat dokter atau tenaga kesehatan lainnya kurang hati-hati atua kurang cermat dalam melakukan upaya penyembuhan terhadap pasien yang meninggal dunia atau cacat tersebut. Malpraktek medis yang dipidana membutuhkan pembuktian adanya unsure culpa lata atau kelaalaian berat atau “zware schuld” dan pula adanya akibat fatal atau serius.
a. Malpraktek pidana karena kesengajaan (intensional)
Misalnya pada kasus-kasus melakukan aborsi tanpa indikasi medis, euthanasia, membocorkan rahasia kedokteran, tidak melakukan pertolongan pada kasus gawat padahal diketahui bahwa tidak ada orang lain yang bisa menolong, serta memberikan surat keterangan dokter yang tidak benar.
b. Malpraktek pidana karena kecerobohan (recklessness)
Misalnya melakukan tindakan yang tidak lege artis atau tidak sesuai dengan standar profesi serta melakukan tindakn tanpa disertai persetujuan tindakan medis.
c. Malpraktek pidana karena kealpaan (negligence)
Misalnya terjadi cacat atau kematian pada pasien sebagai akibat tindakan dokter yang kurang hati-hati atau alpa dengan tertinggalnya alat operasi yang didalam rongga tubuh pasien.
d. Malpraktek Administratif (Administrative Malpractice)
Terjadi apabila dokter atau tenaga kesehatan lain melakukan pelanggaran terhadap hukum Administrasi Negara yang berlaku, misalnya menjalankan praktek dokter tanpa lisensi atau izinnya, manjalankan praktek dengan izin yang sudah kadaluarsa dan menjalankan praktek tanpa membuat catatan medik.
Dua macam pelanggaran administrasi tersebut adalah :
a. Pelanggaran hukum administrasi tentang kewenangan praktek kedokteran
b. .Pelanggaran administrasi mengenai pelayanan medis


2.3 Standar pelayanan fisioterapi di Indonesia
Standar kompetensi fisioterapi adalah pernyataan-pernyataan mengenai pelaksanaan tugas seorang fisioterapis di tempat kerja yang digambarkan dalam bentuk out put. Etika Fisioterapi Indonesia


Fisioterapis dalam segala aktifitas professional dan pelayanan kepada individu dan masyarakat harus selalu menjaga citra profesi berdasarkan kode etik yang telah ditetapkan oleh organisasi profesi fisioterapi, menjunjung tinggi kehormatan profesi dalam setiap perbuatan dan dalam keadaan apapun, mematuhi peraturan dan kebijakan yang telah ditetapkan oleh organisasi profesi.
Garis Besar Kode Etik Fisioterapi Indonesia
1. Menghargai hak dan martabat individu.
2. Tidak bersikap diskriminatif dalam memberikan pelayanan kepada siapapun yang membutuhkan.
3. Memberikan pelayanan professional secara jujur, berkompeten dan bertanggung jawab.
4. Mengakui batasan dan kewenangan profesi dan hanya memberikan pelayanan dalam lingkup profesi fisioterapi.
5. Menghargai hubungan multidisipliner dengan profesi pelayanan kesehatan lain dalam merawat pasien/klien.
6. Menjaga rahasia pasien/klien yang dipercayakan kepadanya kecuali untuk kepentingan hukum/pengadilan
7. Selalu memelihara standar kompetensi profesi fisioterapi dan selalu meningkatkan pengetahuan/ketrampilan.
8. Memberikan kontribusi dalam perencanaan dan pengembangan pelayanan untuk meningkatkan derajat kesehatan individu dan masyarakat.

Landasan hukum :
Pedoman pelayanan fisioterapi di sarana kesehatan ini disusun berdasarkan :
1. UU No.23 tahun 1992 tentang kesehatan
2. UU No.32 tahun 2004 tentang pemerintah daerah
3 .UU No.23 tahun 2004 tentang perimbangan keuangan pusat dan daerah
4. UU No.8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen
5. Peraturan Pemerintah No. 32 tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan
6. Peraturan pemerintah No. 25 tahun 2000 tentang kewenangan pemerintah dan propinsi sebagai daerah otonom
7. Peraturan pemerintah No. 43 tahun 1998 tentang Upaya Peningkatan Kesejahteraan Sosial Penyandang Cacat
8. Peraturan Pemerintah No. 16 tahun 1994 tentang Jabatan fungsional pegawai Negeri Sipil ( Lembaran Negara tahun 94 No 22 tambahan lembaran Negara No. 3547)
9. Peraturan Pemerintah No. 20 tahun 2001 tentang pembinaan dan pengawasan atas penyelenggaraan Pemerintah Daerah
10. Peraturan Pemerintah No. 39 tahun 2001 tentang penyelenggaraan dekonsentrasi
11. Instruksi Presiden No. 7 tahun 1999 tentang Akuntabilitas kinerja instansi pemerintah
12. Peraturan menteri kesehatan RI NO.1575/MENKES/SK/XI/2005 tentang organisasi dan tata kerja departemen kesehatan
13. Peraturan menteri kesehatan RI No. 104/MENKES/PER/11/1999 tentang rehabilitasi medik
14. Peraturan menteri kesehatan RI No. 159B/MENKES/Per/11/1988 tentang rumah sakit
15. Kepmenkes RI No. 1457/MENKES/SK/X/2003 tentang standar pelayanan minimal bidang kesehatan









BAB III
KASUS

Saya dan istri pada tanggal 16 Januari 2003, hari Kamis, membawa anak kami Maureen Aprilia Salim (9 bulan) ke Rumah Sakit Anak dan Bersalin (RSAB) Harapan Kita untuk memeriksakan adanya lendir di tenggorokan anak kami. sebelum ini kami sudah menanyakan ke beberapa dokter anak, baik di Padang maupun Jakarta (kami mutasi kerja) mengatakan itu hal biasa yg terjadi pada beberapa bayi dan disarankan untuk memeriksakan anak kami di RSAB Harapan Kita mengenai penyebab dan pengobatannya. Pertama kali kami menemui dokter Eva J.S DSA (spesialis gastro/dalam), dia menyarankan untuk :
1. USG kepala oleh dr. Sanata Polo. Hasilnya sudah diberitahu ke dr. Eva
2. Tes darah anak (sudah dilakukan, menunggu hasil)
3. Fisioterapi (mengeluarkan lendir di tenggorokan anak) Karena saran ketiga inilah (fisioterapi) anak kami pergi untuk selamanya, kejadiannya yaitu :
1. Penguapan pada hidung anak, berjalan dengan baik
2. Anak kami ditelungkupkan dan ditepuk punggungnya sehingga keluarnya
lendir dari mulut anak kami (masih berjalan dengan baik)
3. Dalam keadaan telentang anak kami disedot lendirnya (suction) dari
mulutnya terus langsung ke hidung secara cepat / tidak perlahan-lahan
sehingga anak kami tidak sempat untuk bernafas pelan-pelan dan wajahnya
sudah bereaksi kebiruan, tetapi orang tersebut (bag. Fisioterapi) masih juga
memasukkan selang ke mulutnya tanpa peduli anak kami sudah biru, saat dia
memasukkan selang lagi itulah anak kami berhenti jantungnya dan wajahnya
berwarna ungu. Saat kami sudah marah dan berteriak, orang tersebut baru
melarikan anak kami ke UGD yang kebetulan ruangannya tidak jauh dari ruang fisioterapi.
Saat di ruangan UGD anak kami sementara tertolong lebih kurang 2,5 jam oleh dr. Willy dan 2 asistennya (dr. Willy juga mengatakan andaikata telat
beberapa detik lagi anak kami tidak tertolong karena jantungnya sempat
berhenti apalagi pihak UGD mengatakan saat fisioterapi kenapa tidak memakai
oksigen untuk pernafasan anak kami). Dr. Willy menyarankan anak kami dirawat
inap tetapi alat untuk membantu pernafasan anak kami sudah terpakai semua
maka kami disarankan untuk dipindah ke beberapa rumah sakit lain di Jakarta
yang ternyata malam itu juga hanya tinggal rumah sakit Cikini yang ada. Dari
RSAB Harapan Kita ke RS Cikini, kami menggunakan ambulance 118 tetapi dari
pihak RSAB Harapan Kita tidak ada yang mengantar kami ke RS Cikini. Sesampai di RS Cikini anak kami tidak dapat tertolong lagi karena mereka mengatakan anak kami sudah sangat parah dan menyesali tindakan orang yang
memfisioterapi anak kami kenapa dipaksakan, sebab dari situlah dokter
mengatakan anak kami tidak tertolong lagi akibat dari cara fisioterapi
tersebut. Kami ikhlas atas kepergian anak kami ke Surga karena ia adalah bayi tanpa dosa. Kami menyesali tindakan paramedis RSAB Harapan Kita terutama bagi Fisioterapi yang menyepelekan/tidak peduli atas nyawa manusia. Semoga tidak terjadi lagi pada anak-anak lainnya, hanya itu yang bisa kami
harapkan. Kami harapkan juga orang yang melakukan fisioterapi tersebut
(pihak fisioterapi dan UGD RSAB Harapan Kita mengenalnya) sadar akan
tindakannya dan tidak terulang lagi pada anak yang lain. Atas perhatiannya, kami mengucapkan banyak terima kasih.


Orang tua Maureen Aprilia Salim Ayah : Budi Yanto Salim


BAB IV
PEMBAHASAN

Berdasarkan kasus yang telah penulis angkat, maka dapat di dilihat bahwa malpraktek pada kasus diatas tergolong malpraktek medik karena pasien mengalami kematian pada saat penanganan medis yang menyimpang dari yang seharusnya. Seharusnya pada saat penanganan pasien di beri oksigen, sehingga pasien masih bisa bernafas.
Sesuai dengan Standard Operasional Prosedur (SOP) bahwa penyakit yang diderita pasien merupakan bagian dari fisioterapi dada, yang bertujuan untuk melepaskan secret dari saluran nafas bagian bawah yaitu dengan cara: membebaskan jalan nafas dari akumulasi secret, mengurangi sesak nafas akibat akumulasi secret. Kemudian peralatan yang digunakan yaitu: Kertas tisu, Bengkok, Perlak/alas, Sputum pot berisi desinfektan, dan Air minum.
Prosedur pelaksanaannya:
1. Tahap PraInteraksi
Mengecek program terapi
Mencuci tangan
Menyiapkan alat2. Tahap Orientasi
Memberikan salam dan sapa kepada pasien
Menjelaskan tujuan dan prosedur pelaksanaan
Menanyakan persetujuan/kesiapan pasien
Tahap Kerja
Menjaga privacy pasien
Mengatur posisi sesuai daerah gangguan paru
Memasang perlak/alas dan bengkok (di pangkuan pasien bila duduk atau di dekat mulut bila tidur miring)
Melakukan clapping dengan cara tangan perawat menepuk punggung pasien secara bergantian
Menganjurkan pasien inspirasi dalam, tahan sebentar, kedua tangan perawat di punggung pasien
Meminta pasien untuk melakukan ekspirasi, pada saat yang bersamaan tangan perawat melakukan vibrasi
Meminta pasien menarik nafas, menahan nafas, dan membatukkan dengan kuat
Menampung lender dalam sputum pot
Melakukan auskultasi paru
Menunjukkan sikap hati-hati dan memperhatikan respon pasien

4. Tahap Terminasi
Melakukan evaluasi tindakan
Berpamitan dengan klie
Membereskan alat
Mencuci tangan5. Mencatat kegiatan dalam lembar catatan keperawatan
Fisioterapi sebagai salah satu profesi kesehatan dituntut untuk melaksanakan tugas dan fungsinya secara profesional, efektif dan efisien. Hal ini disebabkan oleh karena pasien/klien fisioterapi secara penuh mempercayakan problematik atau permasalahan gangguan gerak dan fungsi yang dialaminya untuk mendapatkan pelayanan fisioterapi yang bermutu dan bertanggung jawab. Fisioterapi sebagai profesi mempunyai wewenang dan tanggung jawab untuk menetapkan hal-hal yang berkaitan dengan lingkup kegiatan profesi fisioterapi.
Guna meningkatkan kinerja profesi fisioterapi salah satunya diperlukan standar profesi sebagai dasar setiap fisioterapis dalam menjalankan profesinya. Dengan demikian sebagai petunjuk dalam menjalankan profesi secara profesional perlu disusun suatu pedoman yang disebut “Standar Profesi Fisioterapi“, hal ini sesuai dengan Undang-Undang No. 23 tentang Kesehatan. Dimana dinyatakan bahwa setiap tenaga kesehatan termasuk fisioterapi berkewajiban untuk mematuhi standar profesinya.








BAB V PENUTUP
Kesimpulan :
Dalam dunia fisioterapi, kasus malpraktek bisa mengancam eksistensi jiwa seseorang yang berakibat pada hilangnya nyawa. Jika ternyata tidak meninggal, bisa juga menimbulkan dampak cacat permanen pada tubuh seorang pasien korban malpraktek.
Jadi, Fisioterapis dalam segala aktifitas professional dan pelayanan kepada individu dan masyarakat harus selalu menjaga citra profesi berdasarkan kode etik yang telah ditetapkan oleh organisasi profesi fisioterapi, menjunjung tinggi kehormatan profesi dalam setiap perbuatan dan dalam keadaan apapun, mematuhi peraturan dan kebijakan yang telah ditetapkan oleh organisasi profesi.

Saran:
Dalam melaksanakan intervensi profesi fisioterapi, tenaga fisioterapi Indonesia diharapkan dapat menjalankan profesinya sesuai dengan standar profesi fisioterapi yang telah ditetapkan. Standar profesi fisioterapi tersebut diharapkan dapat dijadikan sebagai acuan dalam menjalankan profesi sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan oleh lembaga yang berwenang.
                 Daftar pustakahttp://forumm.wgaul.com/archive/index.php/t-6872.htmfile:///F:/mal praktek/Malpraktik Kedokteran _ Pemahaman dari segi kedokteran dan hukum.htm
file:///F:/mal praktek/Malpraktik dalam bidang Medis _ purwanto's Weblog.htm
file:///F:/mal%20praktek/Biro%20Hukum%20Dan%20Organisasi%20Kementerian%20Kesehatan%20RI.htm

8 komentar:

  1. Saya tertarik dengan tulisan anda, apa bisa share referensi buku yang bs saya baca mengenai malpraktik fisioterapi di indonesia?
    mohon dibalas krn sangat penting. trimakasih :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. maaf baru balas. saya baru cek blog dan email..
      untuk referensi buku sendiri saya kurang tau. ini kita ambil dari beberapa website yang kita jadikan satu.
      semoga bermanfaat :)

      Hapus
  2. Kasus yang Anda tulis ini terutama pada Bab III adalah kasus anak saya sendiri. Yaitu Almarhum Maureen Aprilia Salim. Tapi pihak RSIA HARAPAN KITA tidak ada tanggapan sedikitpun. Bahkan semua pihak yang bersangkutan sulit untuk ditemui teemasuk petugas fisioterapinya yang menyebabkan anak saya tidak bernyawa lagi hair itu juga Kamis 16 Januari 2013. Untuk INI saya melihat seakan NYAWA manusia itu begitu remehnya di mata mereka. Dan pada waktunya sy akan tetap menyelesaikan kasus ini. Karena selama 12 tahun ini para pelaku nyaman di tempat persembunyiannya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Maaf bu...
      Sudah sejauh mana penegakkan hukum yg sdh ibu tempuh sehubungan dengan kasus ini..?!

      Apakah ada kendala dalam penyelesaian atau proses hukumnya..?!

      Hapus
  3. Maaf... maksud saya adalah Kamis 16 Januari 2003...bukan 2013 seperti ketikan di atas.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Semoga maureen tenang di surga Allah buu 😊😊
      Semoga petugas fisioterapi atau pihak mana pun mendapatkan ganjaran yang setimpal akibat perbuatan nya 😊

      Hapus
    2. Ya, kendalanya mereka pura-pura tidak tahu. Semoga Tuhan memberikan balasan yang sesuai kepada mereka. Terima kasih sudah memperhatikan kasus ini.🙏🏻

      Hapus
  4. dalam kasus yg saya alami.. istri saya mengalami seperti luka bakar diperut akibat proses fisioterapi nya, dgn alasan medis yg tdk jelas mengapa bisa terjadi.. apa itu termasuk mal praktek? karena tidak tau batas penggunaan suhu panas yg wajar setiap pasien

    BalasHapus